REPOST; Hak Milik dalam Islam

Suatu hari seorang teman bertanya tentang dalil menggunakan software bajakan ataupun hal yang melanggar hak cipta. Aku pun mencoba memberikan penjelasan singkat berdasarkan yang aku pahami. Adapun penjelasan yang aku adopsi adalah kutipan (dengan pengubahan seperlunya, yaitu sebatas teknis) karya ilmiah dari alhushein.blogspot.com yang diakses pada 5 Maret 2013, pukul 17.53 (GMT+7). Berikut ini isi kutipan makalah yang kumaksud.


HAK MILIK DALAM ISLAM

Bab I

Pendahuluan

Pemilik sesungguhnya dari sumber daya yang ada; adalah Allah SWT, manusia dalam hal ini hanya dititipkan untuk sementara saja. Sehingga sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh Allah SWT. Oleh sebab itu kepemilikan mutlak atas harta tidak diakui dalam Islam. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 284:

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang di kehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”

Manusia adalah khalifah atas harta miliknya, hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Hadiid ayat 7:

“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”

Dari dua ayat tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa konsep kepemilikan dan harta dalam Islam tidak mengenal kepemilikan yang mutlak sebagaimana yang terdapat dalam konsep ekonomi konvensional. Harta yang dimiliki merupakan suatu ujian bagi manusia agar manusia selalu mengingat nikmat Allah SWT atas karunia yang telah diberikan.

"Kepemilikan" berasal dari bahasa Arab dari akar kata malaka yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab milk berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Kepemilikan merupakan ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan syariah.  Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik sehingga ia mempunyai hak untuk menggunakan barang tersebut sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah.

Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu.

Para fukoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.

Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui cara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.

Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).

Sebagaimana yang telah di singgung sebelumnya, kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real), sebab dalam konsep Islam yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dia-lah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah.

Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.

Dari pendahuluan di atas, konsep kepemilikan dalam islam terbagai atas; Allah sebagai pemilik Alam semesta kemudian manusia sebagai pemilik relatif. Manusia sebagai pemilik relatif terbagi atas; kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Bab II

Theory of Ownership dan Konsep Harta

Private Ownership, Public Ownership, State Ownership

Sebagaimana yang telah di bahas di Pendahuluan, kepemilikan dalam Islam terbagi atas dua, yakni; Allah SWT sebagai pemilik mutlak alam semesta dan manusia sebagai khalifah di muka bumi menerima titipan dari Allah SWT. Kepemilikan manusia terbagi atas: kepemilikan pribadi, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan tersebut diakui dalam Islam, selama dalam proses memperolehnya dan pemanfaatannya tidak bertentangan dengan aturan syariah. Namun apabila bertentangan dengan aturan syariah, maka gugurlah kepemilikan tersebut.

Kepemilikan Pribadi

Kepemilikan pribadi merupakan hak milik individu yang mendasar, bersifat  permanen, penting, melekat pada eksistensi manusia dan bukan merupakan fenomena sementara. Kepemilikan diperoleh melalui bekerja, warisan hibah, dan lain sebagainya. Hak milik individu tidaklah mutlak, tetapi  dibatasi oleh kewajiban yang dibawanya. Kewajiban ini antara lain individu dapat menikmati hak-haknya, tetapi ia juga mempunyai kewajiban tertentu terhadap masyarakat. Individu harus membuktikan bahwa ia hanyalah perwakilan dalam memegang harta, yang sebenarnya merupakan milik Allah SWT.

Kepemilikan individu dalam Islam memiliki tanggung jawab terhadap kemaslahatan ummat dan berusaha untuk mewujudkan maqashid as-syariah. Hal ini berbeda dengan konsep konvensional mengenai kepemilikan pribadi. Pada sistem konvensional khususnya kapitalis kepemilikan pribadi merupakan hak yang sangat mutlak dimiliki oleh individu. Dalam memperoleh hak kepemilikan pribadi, individu tersebut tidak berdasarkan aturan-aturan syariah. Selama menguntungkan dan tidak merugikan individu, maka diperbolehkan. Sedangkan pada sistem komunis, kepemilikan individu tidak diakui, yang diakui adalah kepemilikan negara. Individu hanya menerima pemberian dari negara, negara yang mengatur semuanya.

Kepemilikan Umum

Konsep kepemilikan umum dalam sistem ekonomi Islam ini berbeda dengan barang publik (public goods) dalam konteks Kapitalisme. Dalam Kapitalisme, barang publik adalah barang yang memberikan manfaat menyebar ke seluruh masyarakat terlepas apakah individu yang ada di masyarakat menginginkannya atau tidak (Samuleson dan Nordhaus: 1997: 365). Jadi barang publik dilihat dari sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan dilihat dari barang tersebut milik umum atau tidak sehingga barang publik konteks ini bisa saja dimiliki pemerintah atau swasta tergantung siapa yang mengadakan barang publik tersebut. Kepemilikan umum atau kolektif dimungkinkan dalam  ajaran Islam, yaitu jika suatu benda memang pemanfaatannya diperuntukan bagi masyarakat umum. Karakteristik barang yang merupakan hak milik umum, seperti:

Merupakan fasilitas umum, di mana jika benda ini tidak ada di dalam suatu negeri atau komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
Bahan tambang yang relatif tidak terbatas jumlahnya
Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh orang secara individual (jalan, jembatan, irigasi, sungai, pelabuhan, dan lain lain).

Pemilikan umum merupakan pemilikan yang merupakan milik semua rakyat, bukan milik pribadi dan bukan pula milik negara. Semua bentuk pemilikan umum tidak boleh dikuasai secara individual, baik perorangan ataupun perusahaan. Pengelolaan pemilikan umum diwakilkan kepada negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda,

”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (men-jual-belikannya) adalah haram”. (HR Abu Dawud)

Begitu juga sabdanya,

“Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dinikmati siapapun) adalah air, padang rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah)

Berdasarkan hal ini, air (laut, sungai, danau, dll.), padang rumput (hutan), dan api (bahan bakar minyak, batu bara, gas, listrik, dan sumber energi lainnya) merupakan milik bersama.

Karenanya, termasuk dalam pemilikan umum. Kata 'berserikat' (syuroka) menunjukkan tidak boleh dikuasai secara pribadi, tidak boleh diprivatisasi. Imam at-Turmidzi dari Abyadh bin Hamal meriwayatkan Abyadh pernah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, "Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma'u al-'iddu)." Rasulullah pun kemudian bersabda, "Tariklah tambang tersebut darinya." Tentu saja hadits itu tidak sedang berbicara tambang garam semata, melainkan sedang bicara segala sesuatu yang melimpah 'bagaikan air mengalir'. Buktinya, Rasulullah awalnya memberikannya tapi setelah dijelaskan jumlahnya bagaikan air beliau membatalkannya. Penarikan kembali pemberian rasul kepada Abyadh adalah 'illat dari larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum --termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungan-nya sangat banyak-- untuk dimiliki individu. Dalam hadis yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma'dan al-milh).

Konsep Kepemilikan Negara

Hak milik Negara pada dasarnya juga merupakan hak milik umum, tetapi hak pengelolaannya menjadi wewenang pemerintah. Pada umumnya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak menjadi milik negara. Kemudian harta yang tidak bertuan atau tidak di ketahui siapa pemiliknya dan pengelolaannya, maka menjadi hak milik negara. Pemerintah mempunyai hak untuk mengelola hak  milik ini karena ia merupakan representasi kepentingan rakyat. Hak milik Negara dapat dialihkan menjadi hak milik  individu jika memang kebijakan negara menghendaki demikian. Pengalihan ini berdasarkan aturan syariah, pemanfaatan atas hasil yang diperoleh digunakan untuk kemaslahatan ummat.

Konsep Harta dalam Fiqih Muamalah

Harta merupakan karunia dan anugerah dari Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Di dalam harta tersebut terdapat milik orang lain yang wajib didistribusikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Namun demikian, dalam Islam tidak ada larangan bagi seorang muslim untuk menjadi kaya malah harus banyak orang muslim yang menjadi kaya, akan tetapi orang kaya yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, yang dengan kekayaannya ia turut membantu saudara-saudaranya sesama muslim, dan turut membantu dalam perjuangan dakwah Islam, sehingga kekayaan yang dimilikinya menjadi kekayaan yang barakah, insya Allah.

Konsep harta dalam Islam merupakan amanah yang harus didistribusikan secara merata dan menyeluruh kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini terkait dengan amanah dari Allah SWT kepada mereka yang dititipkan harta. Islam sangat menentang  perilaku penimbun harta, sebab tindakan tersebut menimbulakn kezaliman. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS At-Taubah (9): 34-35 :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ اْلأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَيُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih" (QS At-Taubah [9]: 34)

يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَاكَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَاكُنتُمْ تَكْنِزُونَ

"Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS At-Taubah [9]: 35)

Fungsi Uang dalam Ekonomi Islam

Pada awalnya uang hanya berfungsi sebagai alat untuk memperlancar pertukaran yang semula dilakukan dengan barter (pertukaran in natura). Kesulitan untuk menentukan kesamaan nilai barang yang akan dipertukarkan dengan cara barter, dapat diatasi dengan memanfaatkan uang sebagai media, sehingga selain berfungsi sebagai alat untuk mempermudah pertukaran (means of exchange), uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account).

Pada tahap selanjutnya, sejalan dengan perkembangan peradaban dan aktivitas ekonomi, fungsi uang pun mengalami perkembangan. Secara terperinci fungsi uang dalam kehidupan manusia dapat diuraikan sebagai berikut:

Uang sebagai Alat Tukar Menukar (Means of Exchange)

Sebagai alat tukar menukar, uang membawa efisiensi dalam kehidupan ekonomi. Dalam bentuknya yang sekarang, umum dipakai uang yang terbuat dari logam dan kertas, dan sebagai media pertukaran uang seharusnya memenuhi kriteria sebagai berikut:

Diterima dan dikenal secara umum (acceptability and cognizability).
Mudah dibakukan (easily standardized) sehingga mudah ditetapkan nilainya.
Dapat dibagi-bagi dalam satuan-satuan hitung yang lebih kecil (divisibility) sehingga memudahkan pertukaran.
Mudah dibawa dan tidak mudah rusak (portability and durability).
Memiliki nilai yang stabil (stability of value).
Jumlahnya mencukupi sesuai dengan kebutuhan perekonomian (elasticity of supply).
Tidak mudah ditiru atau dipalsukan (difficult to counterfeit).

Uang sebagai Satuan Hitung (Unit of Account)

Sebagai konsekuensi dari fungsi alat pertukaran, uang seharusnya juga berfungsi sebagai satuan hitung. Artinya uang digunakan sebagai penentu nilai atau harga barang dan jasa. Dengan fungsi sebagai satuan hitung, pertukaran barang dan jasa akan mudah dilaksanakan, karena nilai atau harga barang dan jasa yang dipertukarkan menjadi jelas satuan-satuan pengukuran nilainya.

Demikian pula dengan berfungsinya uang sebagai satuan hitung, jasa ataupun kerja seseorang dapat dinilai dengan uang, demikian pula kekayaan, hutang, ataupun karya seseorang juga dapat dinilai dengan uang.

Menurut Rimsky (2002), esensi dari fungsi uang sebagai satuan hitung adalah untuk menentukan stabilitas dan keseragaman penggunaan uang dalam proses pertukaran di berbagai tempat.

Uang sebagai Penimbun Kekayaan (Store of Value)

Oleh karena penerimaan uang oleh masyarakat luas, uang dapat pula dimanfaatkan untuk menimbun kekayaan, dengan memiliki uang, berarti memiliki barang dan jasa, oleh karena dengan uang setiap saat dapat diperoleh barang dan jasa sebagai ukuran kekayaan. Seseorang menimbun kekayaan dalam bentuk uang pada umumnya didorong oleh keinginan berjaga-jaga dalam pemenuhan kebutuhannya di masa yang akan datang. Sebagai alat untuk menimbun kekayaan, uang sebenarnya tidak lebih baik dibandingkan dengan barang-barang kekayaan lain seperti tanah, rumah, emas, berlian, bahkan saham atau obligasi. Mengingat barang-barang yang bersangkutan relatif nilainya stabil dan bahkan berpeluang naik nilainya di masa-masa mendatang. Meskipun demikian ada kelebihan uang yang tidak dimiliki oleh barang-barang kekayaan tersebut, yaitu uang merupakan kekayaan yang memiliki likuiditas (liquidity), artinya uang dengan mudah dapat diwujudkan menjadi barang dan jasa apa saja untuk memenuhi kebutuhan.

Uang sebagai Standar Pembayaran yang Ditangguhkan (Standard for Deferred Payments)

Fungsi uang sebagai standar pembayaran yang ditangguhkan seringkali disebut pula sebagai standar pencicilan hutang. Artinya uang dapat dipergunakan untuk menentukan nilai hutang-piutang baik pembayaran yang dilakukan dengan cara tunai maupun angsuran. Berdasarkan nilai uang dapat ditentukan nilai hutang-piutang pada saat pencairannya dan waktu pelunasannya di masa yang akan datang. Sama seperti fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan, untuk memenuhi fungsi ini, stabilitas nilai uang menjadi syarat yang diperlukan, terutama stabilitas nilai yang terkait dengan daya beli uang dan nilai mata uang domestik dibandingkan dengan mata uang asing (inflasi dan deflasi).

Uang sebagai Komoditas (Commodity)

Dalam perkembangannya, uang yang semula hanya berfungsi sebagai alat tukar menukar, berfungsi pula sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Hal ini nyata dalam perdagangan valuta asing. Kondisi ini muncul karena dalam perekonomian, kurs mata uang suatu negara senantiasa fluktuatif terhadap mata uang atau valuta asing. Uang sebagai barang dagangan yang diperjualbelikan, dengan harapan dapat meraih keuntungan dari naik turunnya kurs yang terjadi setiap waktu. Demikianlah fungsi-fungsi uang yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan perekonomian. Dengan fungsinya tersebut, uang telah menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat.

Menurut pandangan Islam, uang adalah sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia (Mahmood M. Sanusi, 2002). Uang dibutuhkan oleh masyarakat untuk alat pertukaran barang. Sementara Imam Malik mendefinisikan uang adalah suatu komoditi yang dapat diterima masyarakat sebagai alat pertukaran. Hal ini berarti suatu komoditi yang tidak mempunyai nilai tidak dapat memenuhi syarat sebagai uang.

Usmani (1999) melihat bahwa ada perbedaan yang mendasar antara capitalist theory dan Islam. Dalam teori capitalist, modal (uang) dan entrepreneur dipisahkan. Uang (modal) memperoleh return berupa bunga sedangkan entrepreneur mendapatkan profit dari jasa yang digunakannya untuk melakukan produksi. Islam tidak memisahkan antara uang dan entrepreneurship. Setiap orang yang menyerahkan modal (uang) untuk kegiatan ekonomi yang mempunyai risiko, maka dia berhak untuk mendapatkan keuntungan dari uang tersebut berdasarkan proporsi tertentu.

Sementara Chapra (1985) melihat tujuan dan fungsi uang tidak dapat dilepaskan dari tujuan dan fungsi bank yaitu :

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan tenaga kerja ( full employment)
Untuk menciptakan keadilan ekonomi dan sosial serta menciptakan distribusi pendapatan yang merata
Menstabilkan  nilai uang
Mobilisasi Investasi dan tabungan  untuk pembangunan ekonomi

Dari beberapa pandangan ulama, fungsi uang dalam ekonomi Islam hanya sebagai alat tukar semata dan penghitung nilai/satuan hitung. Sedangkan fungsi uang sebgai komoditas tidak dibenarkan dalam Islam karena mengarah kepada tindakan spekulasi. Menjadikan uang sebagai komoditas perdagangan merupakan perbuatan riba. Dan riba merupakan hal yang terlarang untuk dilakukan oleh ummat muslim.

Bab III

Kesimpulan

Pemilik mutlak alam semesta ini adalah Allah SWT, karenanya pemanfaatan dan pengelolaan alam semesta harus tunduk dengan ketentuan yang digariskan-Nya. Manusia diberikan hak milik terbatas oleh Allah SWT atas sumber daya ekonomi, di mana batasan kepemilikan dan pemanfaatannya telah ditentukan-Nya. Allah menciptakan alam semesta bukan untuk diri-Nya sendiri, melainkan untuk kepentingan sarana hidup bagi mahluk agar tercapai kemakmuran dan kesejahteraan. Manusia harus mempertanggungjawabkan penggunaan hak milik terbatas ini kepada Allah SWT di hari qiyamat.

Harta yang diperoleh merupakan karunia dan anugerah dari Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi. Harta tersebut diperoleh dengan bekerja dan berusaha yang sesuai dengan aturan-aturan syariah. Harta yang diperoleh kemudian digunakan untuk konsumsi, kemudian dari kelebihan harta di keluarkan zakat, infaq dan waqaf.

Fungsi uang dalam ekonomi islam hanya sebagai alat tukar dan penghitung nilai. Uang tidak dapat digunakan sebagai alat penimbun kekayaan sebab akan menimbulkan dampak terhadap perekonomian, yaitu timbulnya stagnan dalam perekonomian dan inflasi. Tindak menimbun merupakan perbuatan yang zalim sebab menimbulkan kesengsaraan.

Sedangkan uang sebagai komoditas tidak diperbolehkan dalam islam sebab uang bukan merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan, nilai uang adalah sama. Apabila uang digunakan sebagai komoditas, maka akan timbul inflasi. Karena peredaran uang menjadi terganggu. Karena uang digunakan sebagai spekulasi, tidak mendorong bergeraknya sektor riil dalam aktivitas perekonomian.

Daftar Pustaka

http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=295031&kat_id=4
http://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_uang
http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=10840
http://www.ekofeum.or.id/artikel.php?cid=14
http://www.republika.co.id
Presentasi Dinar-Dirham Bank Indonesia
Presentasi Dinar-Dirham Riawan Amin
Presentasi Dinar-Dirham Antonio Syafi'i
Hasan Ahmad, Mata Uang Islami Telaah Komrehensif Sistem Keuangan Islami, Raja Grafindo Perada,Bandung,2005
Suprayitno Eko, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonom Makro Islam dan Konvensional,Graha Ilmu,Yogyakarta,2005
Karim Adiwarman,Ekonomi Islam Suatu Kajian Makro,III T Indonesia,Jakarta 2002
---------------------Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,Raja Grafindo Persada,Jakarta,2006
Edwin Nasution mustafa,Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Prenada Media Group,Jakarta,2006
Hamidi Lutfi,GOLD DINAR Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan,Senayan Abadi Publishing,2007
Afzalurrahman. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. Yayasan Swarna Bhumy. Jakarta 1991
Ar-Rifai, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta:  2000
Anto, MB Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam. Ekonosia. Yogyakarta 2003
Muhammad. Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. BPFE.  Yogyakarta 2004
Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian  Islam. Robbani press. Jakarta 2001
Huda, Nurul. Ekonomi Makro Islam Pendektan Teoritis. Kencana. Jakarta.2008



Since you've made it this far, sharing this article on your favorite social media network would be highly appreciated 💖! For feedback, please ping me on Twitter.

Published