Iman adalah pembenaran secara pasti yang sesuai dengan realita yang ada, dan bersumber dari dalil. Jadi, keberadaan dalil merupakan syarat utama dalam keimanan. Jika objeknya adalah realita yang terjangkau oleh indra, seperti Al Qur’an, maka dalilnya adalah aqliy, dan jika realitanya tidak terjangkau oleh indra, seperti surga dan neraka, maka dalilnya adalah naqliy.
Dalil bahwa Al Qur’an datang dari sisi Allah SWT adalah aqliy. Akan tetapi, keimanan terhadap isi yang terkandung di dalamnya, seperti surga dan neraka; menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang buta dan orang yang kena penyakit kusta (mukjizat Nabi Isa AS), terpecahnya lautan dan berjalannya tongkat (mukjizat Nabi Musa AS); dan kisah-kisah lain yang merupakan realita-realita tidak terindra, harus dengan dalil naqliy.
Dalil aqliy yang selamat dari kesesatan, hanya dapat diraih dengan metode pemikiran yang cemerlang. Pemikiran cemerlang inilah yang menjadi dasar pijakan dalam menjawab pertanyaan:
Dari mana saya?
Untuk apa keberadaan saya (di dunia ini)?
Ke mana tempat kembali saya (setelah mati)?
Metode berpikir cemerlang akan mampu menjawab semua pertanyaan tersebut dengan jawaban yang sesuai dengan fitrah manusia.
Keimanan yang selamat dari kesesatan dan sesuai dengan fitrah tegak di atas dua asas: pertama, memahami potensi kehidupan (al thaqah al hayawiyah); kedua, memahami pemikiran (al fikru, al ‘aqlu, al idrak).
Potensi Kehidupan
Pada dasarnya setiap manusia dalam hidupnya memiliki dua potensi, yaitu naluri (gharizah) dan kebutuhan jasmani (al haajat al udhawiyah). Manusia memiliki watak-watak (tabiat) tertentu yang harus diketahui dan dipahami. Untuk memahaminya tidak cukup hanya dengan fitrah, dengan naluri dan dengan kebutuhan jasmaninya, tetapi harus dengan berpikir secara shahih yang mendalam dan rinci. Dengan berpikir itulah akan diketahui hakikat watak dan hakikat tugas-tugasnya. Di antara penyokong tabiat manusia adalah potensi kehidupan, yang mendorong untuk membahas dan menyelidiki berbagai sarana yang dapat memuaskan dan memenuhinya.
Naluri manusia ada tiga, yaitu: naluri seksual (gharizah al nau’), naluri beragama (gharizah al tadayyun) dan naluri mempertahankan diri (gharizah al baqa’). Naluri seksual diwujudkan dalam bentuk rasa kasih sayang, belas kasih, dan tertarik terhadap lawan jenis. Naluri beragama diwujudkan dalam bentuk rasa taqdis, tunduk, mendekatkan diri kepada Allah SWT atau kekuatan-kekuatan ghaib maupun segala sesuatu yang dianggap agung. Perwujudan naluri mempertahankan diri di antaranya rasa ingin memiliki, hasrat untuk menguasai, harapan meraih cita-cita, tamak, dan seterusnya. Sedangkan, wujud kebutuhan jasmani di antaranya rasa lapar, rasa haus, rasa ngantuk, dan lain-lain.
Naluri dan kebutuhan jasmani harus dipenuhi. Rasa lapar mendorong kita untuk makan sesuatu sampai merasa kenyang, rasa haus mendorong kita untuk mencari air minum sampai hilang rasa dahaganya. Juga, kecenderungan manusia untuk menyimpan harta dan mencari kekayaan yang didasari rasa cinta kepemilikan. Mendapatkan rasa aman atau keselamatan jiwanya merupakan pendorong kuat untuk beribadah dan tunduk kepada sesuatu yang diagungkan. Manusia dalam bermasyarakat dalam merealisasikan nilai-nilai kemanusiaannya memunculkan kehidupan romantisme dan dinamisme. Perjalanan manusia untuk merealisasikan pemenuhan melahirkan perbuatan, baik berupa perilaku maupun ucapan. Perbuatan adalah manifestasi (ta’bir) dari potensi kehidupan yang terpendam dalam diri manusia. Potensi kehidupan itulah yang mendorong adanya aktivitas (harakah), yang terwujud dalam perilaku. Melakukan suatu perbuatan merupakan pemenuhan terhadap naluri dan kebutuhan jasmani.
Kita melakukan sesuatu aktivitas dasarnya adalah pemahaman bukan hanya pemikiran. Setiap pemikiran mempunyai makna. Tatkala kita mampu menemukan makna dari pemikiran, dan kita meyakininya, maka pemikiran telah menjadi pemahaman. Dan, tatkala kita tidak menemukan makna apa pun dari pemikiran, atau menemukan maknanya tetapi tidak meyakininya, artinya tidak membenarkan dengan pembenaran yang pasti, maka pemikiran hanya menjadi informasi (al ma’lumat). Informasi tidak berdampak apa pun terhadap perbuatan, karena yang mempengaruhi perbuatan adalah pemahaman. Oleh karena itu, kita harus dapat membedakan antara pemikiran, informasi, dan pemahaman tatkala membahas rahasia eksistensi kita di dunia ini.
Manusia, tatkala mengemban pemikiran tertentu ada kemungkinan untuk berpindah ke pemikiran yang lain. Jika ia beralih pada pemikiran baru, kemudian mengimani dan membenarkannya, maka pemikiran barunya telah terikat dengan potensi kehidupannya, dan menjadi pemahaman (al mafahim) baginya. Dan, jika ia tidak membenarkan dengan pasti pemikiran barunya, maka pemikiran tadi hanya sebatas informasi baginya, dan belum menjadi pemahaman. Jadi, pemahaman adalah makna-makna pemikiran, bukan makna bahasa. Artinya, makna yang realitanya telah ditemukan dalam jiwa (al dzihnu), baik realita terindra maupun realita yang tidak terindra tetapi ada, seperti malaikat, setan, dan jin.
Pemahaman memengaruhi perilaku. Pernyataan yang mengatakan bahwa perilaku manusia tergantung pada pemahamannya adalah pernyataan yang pasti dan tidak ada keraguan lagi. Tatkala pemahaman muncul dari pembenaran yang pasti dengan proses berpikir, maka menjadi jelas bahwa pemikiran tidak akan ada pengaruhnya pada perilaku. Kecuali, jika telah bertalian dengan potensi kehidupan, artinya telah menjadi mafahim. Pembenaran dengan pemikiran yang bertalian dengan potensi kehidupan tidak mungkin mempengaruhi perilaku kecuali jika sesuai dengannya.
Perbedaan antara perilaku dan berpikir sangat jelas. Berpikir bukanlah kecenderungan (al muyul), dan pola pikir (al aqliyah) bukanlah pola jiwa (al nafsiyah). Artinya, terdapat akal yang digunakan untuk berpikir dan terdapat potensi yang menuntut pemenuhan. Dua hal ini berbeda antara yang satu dengan yang lain. Apabila kita berhasil mempertemukan antara keduanya, maka perilaku manusia berjalan di atas dasar proses berpikir. Hasilnya adalah terbentuknya kepribadian (al syakhshiyyah) yang unik, misalnya: kepribadian Islam, kepribadian demokrat, dan kepribadian sosialis-komunis. Dan, tatkala tidak ada pertalian antara keduanya, maka kecenderungan dan pemikiran akan berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, hilanglah perilaku dan kepribadian yang unik, dan yang muncul adalah kepribadian yang kacau (spliting personality). Sehingga, kita tidak bisa lagi mengatakan seseorang mempunyai kepribadian Islami, demokrat, maupun kepribadian sosialis-komunis.
Terkadang, kecenderungan seseorang berbeda dengan pemikirannya, sehingga perilakunya berbeda dengan pemikirannya. Kepribadiannya adalah kepribadian yang kacau, karena perbuatannya berbeda dengan pemikirannya. Hanya saja, perbedaan perilaku dan pemikiran biasanya terjadi hanya pada bagian tertentu (al juz’iyah). Oleh karena itu, efeknya hanyalah kadang-kadang, dan hanya pada sebagian aktivitas. Sehingga, tidak akan membentuk kepribadian yang unik.
Terkadang juga, perilaku berpengaruh pada kepribadian individu dan masyarakat, meskipun pengaruh yang timbul berbeda. Jadi, terpisahnya perilaku dari pemikiran pada suatu keadaan hanya terjadi pada perilaku tertentu, dan tidak memiliki pengaruh yang besar pada kepribadian. Pendapat yang menyatakan bahwa manusia memiliki dua sudut pandang (wijhah al nadzar) dalam kehidupan, yang pertama lahir dari pemikiran, dan kedua yang berkaitan dengan perilaku, merupakan pendapat yang keliru. Tidak mungkin manusia memiliki dua sudut pandang, karena manusia hanya memiliki satu pemikiran asasi, yang akan menjadi pemahamannya. Tatkala terdapat pemikiran lain yang tidak memiliki realita, maka pemikiran itu tetap berupa pemikiran, dan tidak akan berubah menjadi pemahaman. Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa sumber perilaku adalah potensi kehidupan, yakni: naluri dan kebutuhan jasmani. Ketidakterpenuhan naluri biasanya lebih kecil bahayanya dibanding kebutuhan jasmani manusia, meskipun bahayanya tetap besar dalam kehidupan ini.
Kebutuhan jasmani harus dipenuhi, jika tidak akan menghantarkan pada kehancuran hidupnya, bahkan kematian. Adapun naluri, jika tidak dipenuhi tidak akan membawa kematian, tetapi akan menjerumuskan pada kubangan lumpur kebinasaan. Oleh karena itu, manusia harus berupaya untuk memenuhi naluri dan kebutuhan jasmaninya. Hanya saja, pemenuhannya harus dengan cara yang tidak ngawur dan tidak mendobrak aturan, agar naluri dan kebutuhan itu tidak memperbudak dan melemahkannya. Sehingga, harus ada aturan dalam pemenuhannya, dan aturan ini membutuhkan pemikiran tertentu.
Berpikir
Untuk mengetahui hakikat berpikir, kita harus membahas empat hal, berikut ini:
arti berpikir (al ma’na);
prasyarat-prasyarat berpikir (al ‘awamil);
aktivitas berpikir (al ‘amaliyah);
macam-macam pemikiran (al aqsaam).
Definisi Pemikiran
Gerakan yang dihasilkan oleh manusia adalah sesuatu yang berkecamuk di dalam diri akibat dari berbagai prasyarat yang membangun tabiat manusia, pengindraan, pengertian, dan perbuatan lewat panca indra. Semua itu, menjadikan manusia mampu untuk memberikan penilaian (al hukmu) atas sesuatu, yang dihasilkan dari berpikir. Oleh karena itu, dapat dikatakan, bahwa berpikir adalah kekuatan yang mampu melahirkan penilaian atas sesuatu.
Prasyarat-Prasyarat Berpikir
Kehidupan manusia, susunan tabiatnya, dan keunikannya ada karena manusia memiliki panca indra, yaitu: penglihatan (al nadzru), penciuman (al sammu), pendengaran (al sam’u), perabaan (al lamsu), dan merasakan (al dzauqu). Keistimewaan otak yaitu mampu mengaitkan informasi (rabthu al ma’lumat) dan mempunyai potensi untuk membedakan sesuatu (al tamyiz). Kemampuan mengaitkan dan membedakan merupakan keistimewaan utama otak manusia. Dengan kelebihannya, manusia memiliki pemahaman untuk membedakan atau memutuskan (al hukmu). Berbeda dengan seluruh makhluk hidup lain, meskipun memiliki panca indra dan otak, tetapi otaknya tidak memiliki kemampuan untuk mengaitkan informasi, sehingga tidak dapat membedakan sesuatu yang mengantarkan pada penilaian terhadap sesuatu.
Eksistensi benda adalah pasti. Manusia mengetahuinya melalui panca indra dan otaknya. Manusia melihat sesuatu dengan matanya, mencium sesuatu dengan hidungnya, mendengar sesuatu dengan telinganya, meraba sesuatu dengan tangannya, dan merasakan sesuatu dengan lidahnya. Segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh indranya adalah realita yang terindra. Misalnya roti, botol, komputer, pena, maupun fijan. Benda-benda yang berada dalam cakupan indra merupakan sesuatu yang terindra. Lantas, mengapa kita mampu membedakan roti dan pena, akan tetapi kita tidak mampu menilai fijan? Ini karena informasi yang kita miliki tentang roti dan pena terbangun dengan gambaran yang sempurna, sehingga kita mampu menggambarkan dengan benar tentang roti dan pena. Kita mampu membedakan dan mampu menilai atas roti dan pena, artinya pengetahuan tentang roti dan pena tergambar dengan sempurna. Hal ini berbeda dengan fijan. Ketika melihat pertama kali, kita dapati bahwa fijan adalah pepohonan dengan sifat tertentu dan mempunyai aroma tertentu. Akan tetapi, meskipun kita melihat dan menciumnya, kita tidak mampu memberikan penilaian yang benar tentangnya, artinya kita tidak akan mampu mencapai pengetahuan yang sempurna. Hal ini dikarenakan adanya prasyarat yang belum terpenuhi, yakni informasi awal (ma’lumat tsabiqah) tentang fijan.
Jadi, dihadapan kita ada kenyataan baru, sebagai prasyarat berpikir, yaitu fijan sebuah tumbuhan tertentu, yang belum kita ketahui seluruh karakteristiknya. Sampai di sini, kita telah memiliki tiga prasyarat, yaitu: kenyataan (keberadaan fijan), pengindraan terhadap realita (melihat dan mencium baunya), dan otak yang membedakan (bahwa tumbuhan fijan berbeda dengan yang lain). Sekarang, kita akan memberikan penilaian terhadap fijan, jika kita mendapatkan informasi tentang fijan dengan sempurna. Fijan adalah sebuah pohon berdaun seperti so’tar, dapat tumbuh di berbagai tempat, menebar aroma tertentu, mempunyai rasa tertentu, dan mempunyai faidah tertentu. Maka, jika kita mengaitkan informasi ini dengan tiga prasyarat di depan, memungkinkan untuk memberikan penilaian terhadap fijan. Dan, jika kita melihat fijan di tempat dan pada waktu yang berbeda kita akan mampu mengidentifikasi dan dapat membedakannya dengan tumbuhan lain.
Jadi, kebenaran realita sesuatu dapat dinilai jika memenuhi empat prasyarat, yaitu: fakta (al waqi’); pengindraan terhadap fakta (ihsas bi al waqi’); otak (al dimagh); dan informasi awal (al ma’lumat al tsabiqah). Misalnya, kita sebut dua kata: pertama walimah dan kedua wadhimah. Ketika mendengar kata walimah, kita akan langsung mengatakan bahwa walimah merupakan acara makan pada hari-hari bahagia. Mengapa kita dapat menjelaskan secepat itu? Karena telah terpenuhinya empat prasyarat pemikiran tentang kata walimah. Akan tetapi, pada kata wadhimah, yang kita tidak mempunyai informasi awal tentang kata itu sebelumnya, maka kita akan kebingungan dan mengatakan ketidaktahuan kita. Dalam keadaan ini hanya terdapat tiga prasyarat pemikiran, yaitu: kenyataan, pengindraan terhadap fakta, dan otak. Setelah melakukan pengindraan, fakta akan berpindah ke otak dan terekam di dalamnya. Otak kemudian melakukan klasifikasi dari memori-memori yang lain, karena otak memiliki informasi baru tentang realita yang dinamakan wadhimah. Di sini, aktivitas pemikiran hanya terdiri dari tiga prasyarat dan belum bisa memberikan penilaian yang jelas tentang kata wadhimah. Kita harus menyempurnakan aktivitas berpikir ini, dengan melengkapi prasyarat keempatnya, yakni: informasi awal tentang wadhimah.
Ketika diinformasikan kepada kita bahwa kata wadhimah adalah ajakan makan pada saat berkabung. Maka, setelah itu, kita telah mempunyai keempat prasyarat berpikir, sehingga mampu memahami hakikat realitanya. Artinya, kita mampu menghadirkan penilaian yang benar terhadap kenyataan. Proses berpikir seperti ini terjadi secara alami, bahkan tanpa kita sadari.
Selanjutnya, muncul pertanyaan apa yang dimaksud dengan informasi awal? Apa standarnya (al miqyas)? Dan, apa dalilnya?
Agar mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan tepat, maka harus mengetahui empat prasyarat pemikiran:
Dua prasyarat terdapat pada manusia, yaitu panca indra dan otak,
Dua syarat lainnya terdapat di luar manusia, yaitu hakikat fakta dan informasi awal.
Aktivitas pemikiran bertolak dari bergabungnya empat prasyarat di atas. Titik tolaknya adalah fakta yang terindra. Dari fakta, terkadang ditransfer informasi awal yang benar, dan terkadang ditransfer informasi yang salah. Ketika diinformasikan kepada kita bahwa di desa terpencil telah dibangun bandara internasional dengan pelayanan profesional, kemudian kita ke sana untuk menyaksikan langsung dan ternyata memang benar, maka ini adalah informasi yang benar. Sebaliknya, jika faktanya tidak terdapat bandara di desa tersebut, maka informasi itu adalah salah. Dengan melihat langsung terhadap fakta bandara, akan menetapkan hakikat fakta pada kita. Hakikat inilah yang akan menghilangkan keraguan, kedustaan, dan penyesatan. Standar dan dalil atas kebenaran atau kesalahan informasi awal adalah hakikat fakta. Atas dasar hakikat kenyataan, dapat difahami makna sesuatu, misalnya: apa yang dimaksud dengan Komputer, apa rasa buah strawberry, apa nama benda untuk menulis di papan tulis, apa manfaat dan bahaya (mudharat) internet, apakah persidangan kasus korupsi dilakukan atau ditangguhkan, apa yang menetapkan perkataan ya dan tidak, dan seterusnya. Segala sesuatu, perkara, urusan, hukum, keadaan, masalah, dan harta, baik berwujud fakta materi atau nonmateri, menuntut adanya informasi awal yang kemudian digabungkan dengan prasyarat lain, sehingga memungkinkan melakukan pengaitan. Dari penggabungan keempat prasyarat kita mampu membedakan antara satu hal dengan yang lainnya. Hanya saja, yang dianggap (‘ibrah) bukan sekedar adanya informasi awal, tetapi mengaitkan informasi awal dengan fakta, sehingga aktivitas berpikir berjalan dengan sempurna yang akhirnya menghasilkan pemikiran. Kebiasaan pengaitan yang dilakukan sejak kecil, akan menjadikan empat prasyarat di atas terajut menjadi pemikiran, yakni penilaian atas fakta. Oleh karena itu, penilaian atas informasi awal sangat berpengaruh pada penilaian fakta. Jika informasi awal benar maka penilaian adalah benar. Sebaliknya, jika informasi awal salah maka penilaian sesuatu tidak akan pernah sesuai. Prinsip penggalian seluruh fakta yang ada dapat dianalogkan seperti itu.
Para pakar terdahulu sering keliru dalam membahas akal (pemikiran). Mereka disibukkan dengan permasalahan letaknya, apakah di kepala, di hati, atau di tempat lain.
Para pakar sekarang juga masih keliru, yang menjadikan otak sebagai tempat akal. Kekeliruan ini sama dengan kelirunya orang yang mengatakan bahwa pemikiran adalah refleksi otak atas fakta, dan sebaliknya refleksi fakta atas otak. Yang benar adalah otak merupakan bagian organ tubuh, seperti organ tubuh lain, yang tidak bisa terefleksi atau merefleksikan sesuatu. Refleksi adalah diserapnya cahaya kepada sesuatu, yang kemudian cahaya itu berbalik. Sebagai contoh, cahaya lampu menyinari disket kemudian cahaya terpantul kembali, sehingga disket dapat terlihat; juga, wajah yang terpantul oleh cermin ketika ada cahaya, maka cahaya akan kembali dan gambar wajah akan terpantul oleh kaca, sehingga wajah dapat terlihat. Ketika gambarnya terpantul seolah-olah tergambar di belakang cermin, maka tampaknya gambar yang hakikatnya tidak terdapat di cermin. Gambar terpantul seperti terpantulnya cahaya yang mengenai wajah. Itulah refleksi, dan itu tidak terjadi pada otak.
Ketika mata menangkap cahaya yang dihasilkan oleh materi, akan terwujud gambar pada retina, dan dari penangkapan ini dihasilkan penglihatan. Jadi, memindahkan fakta ke otak melalui perantara panca indra bukanlah refleksi (in’ikas), tetapi transformasi fakta (objek) ke dalam otak (inkisar). Sehingga, pembahasan refleksi tidak ditemukan dalam aktivitas berpikir. Aktivitas berpikir adalah pengaitan empat prasyarat, dan pengaitan ini akan menghasilkan kemampuan untuk membedakan (al tamyiz), yang merupakan sumber penilaian (al hukmu) atas sesuatu.
Aktivitas Berpikir
Adalah keliru pendapat yang mengatakan bahwa manusia dapat berpikir tanpa mempunyai informasi awal. Dengan bukti, dahulu ‘manusia pertama’ dalam menghadapi sesuatu (tesa), maka sesuatu itu akan memberikan respons balik kepadanya. Dengan indranya, dia mengetahui sesuatu yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan. Dia juga menjadi mengerti dari indra dan penelitiannya bahwa kayu mengapung di atas air, sehingga dia mampu membuat kapal untuk mengarungi lautan. Dia juga mengetahui bahwa tidur di gua dalam hutan membuat rasa aman dari hujan, kedinginan, dan hewan buas, sehingga ia menjadikan gua sebagai tempat tinggal. Adalah ‘manusia pertama’ —dahulu kala— dengan indranya, dia mampu membuat keputusan (penilaian) dan melakukan pengaturan terhadap sesuatu menurut penilaiannya, artinya menurut pemikirannya. Hal ini menunjukkan —menurut keyakinannya— bahwa pemikiran adalah mentransfer fakta ke otak dengan perantara indra tanpa membutuhkan informasi awal.
Sebenarnya ‘manusia pertama’ yang dijadikan contoh hanyalah hipotesis yang tidak diketahui (majhul) dan sudah tidak ada (ghaib). Padahal, yang kita inginkan adalah tentang pemikiran yang dilakukan manusia saat ini. Maka, tidak dapat menganalogkan antara yang diketahui (ma’lum) dengan yang tidak diketahui (majhul), dan tidak dapat menganalogikan antara yang sekarang (al hadlir) dengan yang dahulu. Analog yang benar adalah sebaliknya, yaitu menganalogikan yang majhul dengan yang ma’lum dan menganalogikan yang dulu dengan yang sekarang. Adalah kekeliruan yang sangat fatal, jika kita menganalogikan manusia yang ada di hadapan kita dengan ‘manusia pertama’ yang telah berlalu dan tidak diketahui untuk mengetahui arti pemikiran orang sekarang. Dan, menganalogikan ‘manusia pertama’ dengan kita justru sangat memungkinkan. Mengetahui arti pemikiran kekinian dapat digunakan untuk mengetahui pemikiran ‘manusia pertama’. Dari sini, adanya keyakinan bahwa indra merupakan sumber pemikiran bagi ‘manusia pertama’ adalah keliru.
Argumentasi yang mereka gunakan adalah informasi sejarah ‘manusia pertama’, yaitu bahwa pada zaman batu, manusia telah berusaha untuk mencari makanan dengan teknologi meskipun sangat sederhana, yakni menggunakan peralatan-peralatan batu untuk mengambil buah dari hutan rimba, memburu ikan, membangun tempat tinggal untuk berlindung dari bahaya hewan buas. Kalaupun informasi itu benar, maka ia terkait dengan pemenuhan naluri dan bukan dengan pemikiran. Artinya, terkait dengan pemahaman perasaan (al idrak al su’uri) atau identifikasi berdasarkan naluri (al tamyiz al gharizi), dan tidak terkait dengan pemahaman pemikiran (al idrak al aqliyyah). Argumentasi lain untuk memperkuat pendapat di atas adalah: karyawan baru yang dihadapkan komputer 1 (satu) unit yang dipisah-pisah komponennya. Orang tersebut tidak mempunyai informasi awal tentang komputer, dan dia ingin memperbaiki komputer tersebut. Orang tersebut berusaha mencoba berulang-ulang (trial and error), dan dalam waktu yang lama, akhirnya ia mampu menyusun komputer kembali. Apakah berarti orang tersebut mampu berpikir tanpa membutuhkan informasi awal? Ini juga pendapat yang tidak tepat, karena orang tersebut sebenarnya memiliki banyak informasi awal. Dari uji coba (trial and error) yang dilakukannya beberapa kali telah menghasilkan informasi-informasi awal bagi percobaan selanjutnya, yang akhirnya berhasil mengumpulkan informasi yang lengkap untuk menyusun kembali komputer tersebut. Artinya, dengan pengaitan informasi-informasi yang dihasilkan dari uji cobanya memungkinkan dia sampai pada kesimpulan cara memasang komputer yang benar.
Argumentasi di atas tidak layak dijadikan contoh, karena sebenarnya dia memiliki informasi awal. Contoh yang layak adalah anak kecil yang tidak memiliki informasi awal sama sekali atau seseorang yang tidak mempunyai informasi yang memungkinkan untuk meminta bantuan guna menghadirkan informasi awal untuk menerangkan kenyataan. Misalnya: orang desa dimasukkan ke laboratorium, kemudian dia dibiarkan untuk melakukan penelitian; juga, seorang ekonom dimasukkan ke laboratorium atom dan nuklir (al makhtabar al dzarrah), kemudian dia diminta menjelaskan rahasia bom nuklir (al qumbulah al dzarriyyah). Kedua contoh terakhir lebih layak dan lebih tepat, dibanding orang yang sedang menyusun komputer.
Otak bukanlah tempat pemikiran. Indra mentransfer kesan objek berupa materi ke otak. Jika alat indranya adalah mata, yang ditransfer adalah kesan objek berupa gambar. Jika indranya adalah telinga yang ditransfer adalah kesan objek berupa suara. Jika indranya adalah hidung yang ditransfer adalah kesan objek berupa aroma. Demikianlah fakta terekam, yang sama seperti ketika ditransfer ke otak, yakni menurut kesan yang ditransfer. Oleh karena itu, pengindraan yang sempurna pada fakta belum membangkitkan pemikiran, akan tetapi hanya menghasilkan naluri untuk membedakan (al tamyiz al gharizi), dilihat dari sisi dapat memenuhi (kebutuhan) atau tidak, menyengsarakan atau tidak, membahagiakan atau tidak, dan tidak lebih dari itu. Jika terdapat informasi awal yang kemudian oleh otak dikaitkan dengan fakta terindra yang tergambar dalam otak, maka pada saat itu sempurnalah aktivitas pemikiran dan menghasilkan pemahaman terhadap sesuatu, serta dapat mengetahui hakikat sesuatu. Jika tidak demikian, maka aktivitas tersebut hanyalah pengindraan atau al tamyiz al gharizi .
Apabila kita mengerahkan pikiran secara sempurna, tetapi tidak terdapat fakta yang terindra, ditambah tidak ada informasi awal, maka itu hanyalah khayalan kosong. Hal ini justru akan mendatangkan penyimpangan dengan imajinasi-imajinasi yang keliru, kesesatan, dan terkadang mengantarkan kepada depresi otak sehingga akan mendatangkan penyakit stres, ketidakwarasan, gila, dan sejenisnya. Jadi, dalam aktivitas pemikiran harus terdapat fakta terindra dan informasi awal seperti keharusan terdapatnya otak dan indra. Jadi, pemikiran adalah mentransfer fakta melalui panca indra ke otak disertai dengan informasi awal yang akan menentukan penafsiran terhadap fakta tersebut.
Demikianlah definisi pemikiran dan aktivitas pemikiran yang dilakukan oleh para pemikir —yang menghasilkan pemikiran— bukan orang yang hanya sekedar mentransfer pemikiran. Adapun orang yang hanya mentransfer pemikiran, maka tidak perlu aktivitas seperti ini, karena pemikiran telah dihasilkan dan telah selesai. Orang-orang yang telah menghasilkan pemikiran akan memberitahukan pemikirannya kepada orang lain, dengan bahasa dan istilah yang berbeda-beda. Adapun pemikiran yang ditransfer dari orang lain perlu diperhatikan. Jika yang diterima sama seperti sumber yang ditransfer, lalu membenarkan pemikiran tersebut, seakan-akan ia mengindra sendiri, maka pemikiran tersebut menjadi pemahaman (mafahim) yang sama. Dan, jika yang menerima tidak dapat menggambarkan objek pemikiran tersebut, tetapi hanya memahami secara global atau mengerti maksudnya, tetapi tidak mampu mewujudkan faktanya dalam benak, baik secara pengindraan maupun pembenaran dan penerimaan, maka pemikiran tersebut hanya menjadi informasi. Artinya, hanya menjadi pengetahuan (al ma’arif). Oleh karena itu, informasi saja tidak akan berpengaruh pada seseorang, dan yang berpengaruh adalah pemahaman (mafahim), karena pemahaman adalah pemikiran yang memiliki fakta dalam benak. Seorang pemikir haruslah mengetahui realita yang dipikirkan, apa dampaknya dan bagaimana pengaruhnya, sehingga mampu mentransfer pemikirannya kepada orang lain. Jika tidak demikian, ia bukanlah mentransfer pemikiran kepada orang lain, akan tetapi yang ia transfer hanyalah informasi-informasi. Jadi, ia adalah pengajar, bukan pemikir. Dari sini, tidak boleh ada pencampuradukan antara aktivitas berpikir (‘amaliyah al tafkir) dan identifikasi berdasarkan naluri (al tamyiz al gharizi).
Identifikasi Naluriah
Kita sering mencampuradukkan antara berpikir dengan identifikasi naluriah, karena ketidakmampuan kita untuk membedakannya. Oleh karena itu, kita sering terperosok dalam kesalahan-kesalahan yang menggelikan dan kadang-kadang menyesatkan, sehingga di antara kita ada yang berpendapat bahwa anak kecil memiliki akal dan pemikiran sejak lahir. Sebagian lagi berpendapat hewan memiliki pemikiran. Dan, ada yang mencampuradukkan antara pemikiran dan naluri (al gharizah) sehingga mengakibatkan kesesatan dalam pendefinisian pemikiran. Oleh karena itu, pengetahuan tentang naluri sangat urgen seperti halnya pengetahuan tentang pemikiran.
Kesempurnaan naluri pada hewan dikarenakan pengindraan yang berulang-ulang terhadap kenyataan. Hewan memiliki otak dan indra seperti halnya manusia, akan tetapi otak hewan tidak mampu untuk mengaitkan berbagai fakta, hewan hanya mampu mengindra. Hewan tidak memiliki informasi awal (al ma’lumat al tsabiqah) yang dapat dikaitkan dengan fakta atau dengan pengindraan. Bahkan, setiap fakta yang ia indra menjadi rekaman, yang kembali teringat ketika hewan itu mengindra fakta itu. Pengingatannya bukanlah pengaitan, tetapi hanya aktivitas untuk mengokohkan pengindraan. Pengingatan tumbuh dari pengindraan fakta yang pertama atau terhadap fakta baru yang berhubungan dengan fakta pertama. Maka, pengindraan pada saat itu menjadi identifikasi naluriah (al tamyiz al gharizi). Inilah yang menentukan perilaku hewan dan gerak-geriknya pada saat memenuhi naluri dan kebutuhan-kebutuhan fisiknya.
Misalnya, ketika disodorkan daging dan anggur kepada kucing, maka dengan nalurinya, kucing mengetahui di antara keduanya, mana yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan. Kucing akan memakan daging dan menyingkirkan anggur. Juga sama, jika disodorkan biji gandum dan abu kepada kuda yang lapar, maka ia akan berusaha mendeteksi mana benda yang dapat mengenyangkan. Kuda menemukan bahwa pemenuhannya terdapat pada gandum bukan pada abu, maka pengindraannya akan melekat (al irtikaz) bahwa gandum dapat memenuhi kebutuhannya, sedangkan abu tidak. Maka, abu ditinggalkan semata-mata pengindraannya, dan gandum dimakan juga karena pengindraannya. Ini berlaku untuk semua hewan. Anak kecil ketika baru dilahirkannya juga seperti hewan, meskipun memiliki potensi pengaitan, akan tetapi otaknya tidak memiliki informasi yang dapat dikaitkan dengan pengindraan fakta baru, sehingga ia belum mampu membedakan berbagai fakta. Ia tidak memiliki pemikiran, akan tetapi hanya identifikasi naluriah (al tamyiz al gharizi) dilihat dari sisi benda itu mengenyangkan atau tidak, tetapi ia tidak mengetahui hakikat benda itu. Ketika disodorkan kurma dan arang pada anak kecil yang lapar, maka dia akan mendeteksi salah satunya. Jika dia menemukan dalam benda tersebut terdapat pemenuhan, maka dia akan memakannya dan membuang yang lain.
Akan tetapi, jika ia memiliki informasi awal (al ma’lumah al tsabiqah) dia akan segera menggunakan ma’lumat itu secara refleks, karena pengaitan adalah bagian integral dari susunan otaknya. Atas dasar itu, identifikasi naluriah (al tamyiz al gharizi) tidak lebih dari pengindraan fakta untuk mengetahui keberadaan sesuatu itu, apakah memenuhi kebutuhan atau tidak. Identifikasi naluriah berbeda dengan pemikiran yang merupakan penilaian (al hukmu) atas sesuatu. Aktivitas pemikiran dapat dihasilkan dengan dua metode:
Metode aqliyah (al thariqah al aqliyyah) adalah metode yang membutuhkan pengamatan dan pengambilan keputusan
Metode ilmiyah (al thariqah al ‘ilmiyyah) adalah metode yang membutuhkan pengamatan, percobaan dan pengambilan keputusan
Metode Aqliyah dan Ilmiah
Metode aqliyah didefinisikan sebagai suatu metode pengkajian yang ditempuh untuk mengetahui hakikat sesuatu melalui proses pentransferan fakta, dengan perantara indra, ke otak, didukung oleh adanya informasi awal (al ma’lumat al tsabiqah) yang akan memberikan tafsiran dan penilaian (al hukmu) terhadap fakta tersebut. Penilaiannya dinamakan pemikiran atau pemahaman akal (al idrak al aqli). Metode aqliyah biasa digunakan untuk mengkaji objek yang terindra (fisik) seperti kimia dan fisika, untuk mengkaji pemikiran-pemikiran seperti aqidah dan perundang-undangan (al tasyri’), untuk membahas sastra (al adab) dan fiqh. Metode ini adalah metode yang alami, untuk sampai pada pemikiran. Metode aqliyah hakikatnya adalah definisi berpikir itu sendiri. Dengan cara inilah, manusia, dalam kedudukannya sebagai manusia, dapat memahami segala sesuatu yang telah diketahui atau yang ingin ia ketahui.
Hasil yang diperoleh dari metode aqliyah ada dua kemungkinan. Jika kesimpulannya berkaitan dengan ada atau tidak adanya sesuatu, maka metode ini bersifat pasti (qath’i), tidak mungkin salah. Hal ini, karena keputusan diambil dari pengindraan terhadap fakta. Padahal pengindraan terhadap keberadaan fakta tidak mungkin salah, karena pengindraan itu bersifat pasti. Penilaian (al hukmu) akal untuk menentukan keberadaan sesuatu dengan metode aqliyah pasti adanya.
Apabila kesimpulannya adalah pemikiran atas hakikat atau sifat sesuatu, maka hasilnya bersifat tidak pasti (dzanni), dan masih ada potensi salah. Penilaian tersebut diambil dari suatu informasi (ma’lumat) atau interpretasi terhadap fakta yang terindra berdasarkan informasi yang telah ada. Kesimpulan ini sangat mungkin mengandung kesalahan, namun tetap benar selama belum terbukti kesalahannya. Pada saat terbukti kesalahannya itulah diputuskan bahwa kesimpulannya salah. Oleh karena itu, pemikiran yang diperoleh melalui metode aqliyah, jika berkaitan dengan keberadaan sesuatu seperti eksistensi Allah SWT, Al Qur’an dari sisi Allah SWT, Muhammad SAW adalah Rasulullah dan lain-lain, adalah pemikiran yang pasti (qath’i). Akan tetapi, bila berkaitan dengan penilaian atas hakikat dan sifat sesuatu, seperti hukum-hukum syara’, maka kesimpulan pemikiran tersebut tidak pasti adanya (dzanni). Artinya, diduga kuat hukum sesuatu itu adalah begini, dan bahwa kejadian itu hukumnya begini. Penilaian ini adalah benar, meskipun ada peluang terjadi kesalahan, akan tetapi masih merupakan kesimpulan yang benar sampai terbukti kesalahannya.
Definisi metode ilmiah adalah metode pengkajian —seperti metode aqliyah— yang ditempuh untuk mengetahui hakikat sesuatu, tetapi melalui metode ekspresimental (al tajarub). Oleh karena itu, metode ini digunakan untuk benda-benda yang bersifat fisik, tidak mungkin dilakukan untuk membahas sesuatu yang abstrak. Metode ini dilakukan dengan cara memperlakukan benda pada situasi/keadaan tertentu yang bukan situasi alaminya. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan hasil percobaan pada situasi alaminya. Dari hasil percobaan yang diperoleh serta perbandingan yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan tentang hakikat benda yang diteliti. Bentuk percobaan ini lazim dilakukan di laboratorium-laboratorium (al mukhtabarat). Metode ilmiah mengharuskan adanya peniadaan seluruh informasi yang diperoleh sebelumnya tentang sesuatu yang diteliti. Kemudian mulai dilakukan pengamatan dan percobaan terhadap benda tersebut. Metode ini mengharuskan seorang peneliti untuk mengosongkan seluruh pendapat dan keyakinan dari benak mereka dalam pengkajian ini. Kemudian melakukan eksperimen, dilanjutkan dengan melakukan komparasi (al muwazanah) dan klasifikasi sehingga didapatkan suatu konklusi berdasarkan tahapan metodologi ilmiah (al muqaddimah al ‘ilmiyyah). Apabila peneliti telah sampai pada suatu kesimpulan dengan metode ini, hasil penelitiannya dinamakan kesimpulan ilmiah, yakni hakikat ilmiah yang tunduk pada pengkajian dan penelitian. Kesimpulan ini tetap merupakan kesimpulan ilmiah yang benar, selama belum ada penelitian lain yang menyanggahnya.
Berdasarkan definisi metode ilmiah dan aqliyah di atas, jelaslah bahwa metode aqliyah adalah satu-satunya metode yang harus digunakan oleh manusia, dalam kapasitasnya sebagai manusia, ketika berpikir dan menilai sesuatu. Dan, untuk memahami hakikat dan sifat sesuatu. Seperti halnya metode langsung adalah yang paling selamat dari kesalahan. Dengan demikian, akan dihasilkan pemikiran yang benar atau lebih mendekati kebenaran untuk kasus yang dzanni, dan akan dihasilkan kesimpulan yang pasti benar untuk kasus yang qath’i. Karena setiap masalah membutuhkan pemikiran, maka pemikiran itulah harta yang paling berharga dan paling mahal bagi manusia dalam kehidupan ini.
Dikutip dari:
Since you've made it this far, sharing this article on your favorite social media network would be highly appreciated 💖! For feedback, please ping me on Twitter.
Published